Media Sosial dan Persatuan Bangsa

  • Opini Langit Bara Lazuardi

Video Ustaz Abdul Somad  viral. Ditengarai, pendapatnya soal salib, mengancam kerukunan antarumat beragama. Tapi, di saat bersamaan, video-video lain juga muncul, tentang pendeta yang, ditengarai, menghina agama lain. Video-vide ini bersileweran, memancing perdebatan, memancing keriuhan dan keretakan persatuan.

UAS memang kemudian menjelaskan bahwa materi yang dia bawakan hanya untuk kalangan internal umat Islam. Ceramahnya itu sudah terjadi tiga tahun lalu, di Riau, dalam forum kajian subuh. Dan, karena untuk internal, juga dilakukan di forum terbatas, di masjid, UAS mengkaji dari sisi agamanya, dengan niatan untuk pengetahuan internal. Jadi, tidak ada niatan untuk membuat atau menimbulkan perpecahan.

Kita harus akui, apa yang dilakukan UAS juga terjadi di forum-forum terbatas agama lain. Saling klaim bahwa agamanya yang paling benar sudah merupakan hal lazim. Bahkan, karena klaim itu, terkadang menunjukkan kelemahan agama lain. Itu juga biasa menjadi kajian di forum terbatas tiap agama. Dan praktik ini bertahun-tahun lalu pun sudah terjadi.

Tapi, sekali lagi tapi, zaman sudah berubah. Sekarang ini tidak ada lagi batas yang jelas antara ''untuk kepentingan internal'', ''untuk kalangan sendiri'' dengan ''untuk semua kalangan'' atau untuk umum. Sebabnya satu, kita berada di zaman ketika batas-batas itu telah runtuk dengan adanya media sosial.

Kini, setiap orang bisa langsung menyiarkan apa yang dia saksikan di ''forum internal'' tadi ke masyarakat luas, bahkan secara langsung (live). Atau, bisa merekam ''materi internal'' tadi, dan kemudian mengunggahnya di media sosial semacam youtube atau instagram. Materi, pandangan, pendapat, yang tadinya sangat ''auratik'' dan khusus untuk internal, kalangan agama tertentu, jadi kehilangan ruhnya, ketika dia ditampilkan di media sosial. Yang khusus, internal, langsung jadi terbatalkan.

Tentu, UAS tidak salah. Tapi, UAS dan juga pemuka agama lain, harus lebih bijak. Ketika batas-batas yang internal dan yang umum tidak lagi ada alias runtuh, maka pandangan kelompok bisa jadi hanya ilusi. Kita tidak lagi bisa mengatakan bahwa apa yang kita katakan menjadi ''kebenaran kelompok'' dan ''hanya untuk penghayatan'' kelompok ketika dia diumumkan. Dan dengan demikian, kita harus menyadari bahwa ''selalu ada mata'' yang mungkin memandang kita di manapun posisi kita.

Memhami situasi itu akan membuat kita lebih arif, lebih bijak, untuk mengeluarkan pendapat. Lebih baik lagi jika kita fokus dengan kebenaran agama kita tanpa harus membandingkannya dengan agama lain, meskipun, seperti tadi, untuk kalangan terbatas. Di sinilah kita harus tahu bahwa apa yang menjadi ''makna niatan'' bisa berubah ketika medianya juga berubah.  Niat dan yang sampai jadi berbeda. Pesan yang diungkapkan menjadi berubah arah ketika menemukan audiens atau pendengar yang juga berbeda.

Sudah waktunya kita memandang keberbedaan sebagai kekayaan. Sudah saatnya kita memandang keberbedaan sebagai harmoni dan bukan ''cacat''.  Kini saatnya kita menjaga, merawat, dan meneruskan kebinekaan. Juga sudah waktunya kita berhenti mengklaim bahwa surga diciptakan hanya khusus untuk kita.  Semua juga berhak, semua juga punya kebenaran.**

Penulis : lbl
Editor   : edt