Ketika Mantan Napi Korupsi Diperbolehkan Ikut Pilkada


Menjelang perhelatan Pilkada Serentak tahun 2020, Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota tidak mencantumkan larangan bagi mantan  narapidana kasus korupsi untuk maju di Pilkada.

Dalam PKPU tersebut yang dilarang untuk maju di Pilkada adalah tersangka Bandar narkoba dan tersangka kejahatan seksual terhadap anak

Peraturan tersebut terasa mengejutkan. Pasalnya di rancangan PKPU tersebut tercantum adanya larangan bagimantan narapidan korupsi maju di Pilkada. Apapun PKPU telah diterbitkan, dan aturan harus dilaksanakan.

 Seperti biasa di wacana politik pro dan kontra selalu bermunculan  PKPU tersebut tentu mengacu aturan yang ada diatasnya. Tidak ada peraturan yang melarang mantan narapidana korupsi untuk maju dan bersaing di Pilkada.  Tinggal parpol yang melakukan seleksi dan mengambil sikap politik terhadap keberadaan mantan narapidan korupsi.

Pasalnya di Pasal 3A ayat 3 tertulis bahwa dalam pencalonan yang diutamakan adalah bukan terdakwa kasus korupsi. Ini merupakan imbauan dari KPU agar parpol pengusung bakal calon kepala daerah lebih memilih dan mengusung calon yang belum pernah tersangkut kasus korupsi.

Korupsi memang menjadi kejahatan akut terutama dilakukan oleh pejabat politik termasuk kepala daerah. Terdapat 119 kepala daerah mulai dari tahun 2002-2019 yang diproses hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tersandung kasus tersebut.  Bahkan 47 kepala daerah diproses melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT)

Jika semua dikembalikan ke partai, maka partai di Pilkada Serentak tahun 2020 harus selektif. Mereka harus benar-benar memperhatikan rekam jejak bakal calon kepala daerah yang akan diusung. Selain itu mekanisme pencalonan termasuk proses politik di parpol harus transparan.

Kasus korupsi yang membelit kepala daerah yang menjabat ini tentu disebabkan oleh banyak faktor. Ketamakan, sistem yang mengharuskan atau adanya alasan bahwa itu untuk mengembalikan biaya politik tentu sangat tidak dibenarkan.  Oleh karena itu saat itu kita tak perlu berdebat banyak soal tidak adanya larangan bagi napi korupsi untuk maju di Pilkada.

Saat ini yang terpenting adalah bagaimana memperbaiki sistem perekrutan dan proses penentuan kepala daerah yang maju di Pilkada. Jika ingin mendapatkan calon yang benar benar memiliki integritas dan rekam jejak yang bagus, tentu harus diutamakan yang tidak memiliki dosa sejarah dengan kasus korupsi.

Di lain pihak proses penjaringan penyaringan dan penentuan bakal calon dan calon kepala daerah juga harus bebas dari transaksi politik yang menyebabkan calon tersandera. Ujung-ujungnya mereka akan melakukan korupsi. Kita tentu tak ingin ucapan Bung Hatta yang menyebutkan bahwa korupsi sudah menjadi budaya kita itu menjadi benar adanya.

Oleh karena itu menjelang Pilkada Serentak tahun 2020 baik parpol harus mengedepankan inetgritas dan kapasitas serta kapabilitas calon. Jangan sampai kasus maraknya kepala daerah tersangkut kasus korupsi terulang lagi.

 

Penulis : Joko Santoso
Editor   : edt