LPPM Unika Luncurkan dan Bedah Buku dari Tiga Pusat Studi


SEMARANG, WAWASANCO - Tiga pusat studi di bawah naungan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unika Soegijapranata, meluncurkan sekaligus menggelar bedah buku.   

Ketiga pusat studi tersebut yakni Pusat Studi Wanita (PSW) dengan judul buku “Perempuan Lintas Ilmu: Bunga Rampai Bahan Ajar Berperspektif Gender”, berikutnya Pusat Studi Urbans (PSU) judul bukunya “Membangun Kota Inklusif: Sebuah Antologi”, dan Pusat Studi The Java Institute (TJI) bersama judul bukunya “Dampak Jalan Tol Terhadap Pulau Jawa”.

Kepala LPPM Unika Soegijapranata Dr Berta Bekti Retnawati, memaparkan pihaknya mengapresiasi upaya yang telah dilakukan oleh masing-masing pusat studi, yang tetap melaksanakan kegiatan dan menolak untuk berdiam diri, meski dalam kondisi pandemi covid-19.

“Dalam mengisi kegiatan di tengah pandemi covid-19, masing-masing pusat studi dengan gaya dan caranya masing-masing tetap berkreasi dalam bentuk yang bermacam-macam, yang akhirnya kegiatan tersebut bermuara pada sebuah buku,” ucap Dr Berta, disela peluncuran yang digelar secara daring, kemarin.

Dipaparkan, kegiatan tersebut menjadi pembelajaran tradisi bagi para dosen muda, bahwa dalam setiap kegiatan atau workshop yang dilakukan, pasti muaranya adalah buku. Karena dengan buku akan menjadi sesuatu peninggalan yang tidak akan hilang.

"Ini menjadi suatu tradisi dan akan kita teruskan ke depannya. Semua kegiatan, pemikiran, olah rasa dan olah kinerja bersama ini akan kita jadikan buku," lanjutnya.

Mengawali acara bedah buku, Dr Ir Arianti Ina Restiani Hunga Msi dari pusat studi PSW, menyampaikan beberapa poin penting terkait teknis, pengantar buku, kerangka penulisan, dan isi tulisan.

“Dari sisi teknis, perlu ditemukan tata tulis, template dan layout yang sama, sebagai buku ajar ataukah sebagai buku referensi, karena sisi teknis untuk kedua buku tersebut berbeda targetnya,” ungkapnya.

Buku ajar targetnya adalah untuk mahasiswa yang terdiri dari beberapa level, apakah untuk mahasiswa awal, mahasiswa tengahan, atau untuk mahasiswa akhir. Sebaliknya, apabila buku referensi maka arahannya lebih ke buku pegangan dosen.

Hal ini penting untuk disampaikan dalam suatu buku, supaya dari awal pembaca tahu target buku yang akan dibaca untuk siapa, targetnya siapa, isinya tentang apa. Dan karena buku ini sifatnya adalah bunga rampai maka perlu kerja keras dari editor untuk meramu menjadi menu yang irisannya tergantung dari ‘pisau’ analisis yang dibuat oleh editor.

Peran editor juga sangat penting dalam memberikan pengantar dalam satu bab di depan sebagai pengikat dari beberapa judul penulis dalam tataran empiris, konsep dan contoh.

Dalam buku ajar dan buku referensi perlu juga dibahas mengenai mengapa isu gender yang intersepsi ini harus dibahas dengan ditarik ke dalam isu GESI (Gender Equality and Social Inclusion). Hal ini penting tidak hanya menyangkut target pembacanya saja tetapi juga agar mahasiswa bisa mengetahui spiritnya seperti apa. 

“Kesamaan konsep baku sebagai seorang penulis, juga memiliki peran yang penting supaya nanti persoalan yang dibahas dalam buku bisa didudukkan pada konsep yang

sama. Selain itu apabila yang dimaksudkan adalah buku ajar, maka perlu diberikan contoh,” kata Sekretaris Umum Asosiasi Pusat Studi Wanita/Gender dan Anak se Indonesia (ASGWI) ini.

Selanjutnya, Donny Danardono SH MHum yang menjadi pembahas dari pusat studi PSU, menjelaskan bahwa merancang sebuah kota yang inklusif adalah merancang kota yang ramah terhadap berbagai kategori identitas, yaitu gender, difabel, orientasi seksual, agama, usia, status sosial atau kelas sosial warga kota.

“Namun demikian merancang adalah melihat dari jarak. Artinya melihat dari atas, sehingga dengan merancang ‘melihat dari atas’ ada kelemahan yaitu kecenderungannya untuk membekukan berbagai kegiatan warga yang berlangsung di bawah, dan mengabaikan kegiatan warga yang dianggap penting oleh warga itu sendiri,” tuturnya.

Seperti sebuah peta, maka peta adalah sebuah reduksi. Peta tidak mencantumkan sesuatu yang bersifat unik, peta juga menentukan apa yang ‘scene’ (boleh diketahui) dan ‘obscene’(tak layak diketahui, karena tak penting atau diharamkan).

Menurutnya, perspektif kota yang inklusif, berarti juga harus dilengkapi dengan perspektif warga kota itu sendiri, sehingga dengan demikian akan ada dialektika, tambahnya.

Sedang dalam bahasan buku dengan judul “Dampak Jalan Tol Terhadap Pulau Jawa” dari pusat studi TJI, Mohamad Agus Setiawan ST MT ERMCP IPM Asean Eng sebagai

pembahas, menilai bahwa buku tersebut bersifat komprehensif atau multidisiplin dan bisa menjadi sarana edukasi dan informasi yang menarik kepada masyarakat, terutama bagi para pengambil keputusan.

“Buku ini bisa memberikan masukan kepada para pengambil keputusan dalam berkoordinasi antar instansi, bagaimana mempersiapkan berbagai aturan antara pemerintah pusat dan pemerintah di daerah sikronisasinya mengenai keberadaan jalan tol itu supaya bisa memberikan manfaat optimal kepada masyarakat,” tandasnya.

 

Penulis : rls
Editor   : edt