Membuat Lidah Terus Menari


KEBANYAKAN rumah makan berdiri di pusat keramaian atau di pinggir jalan raya yang ramai lalu lintas. Namun Soto Bening Poro Rojo Wonosobo justru memilih menepi, berdiri di areal persawahan yang sepi dari lalu lalang orang.

Melihat sekilas bangunan sederhana dan lokasi tak begitu strategis, orang pasti berpikir itu pojok makan yang biasa-biasa saja, tanpa keistimewaan. Padahal anggapan itu salah. Soto Bening memiliki banyak pelanggan karena menyajikan menu yang selalu memikat segala lidah untuk terus bergoyang.

Soto Bening Poro Rojo berada di pinggir persawahan Dusun Limbangan, Kelurahan Mudal, Kecamatan Mojotengah, Wonosobo. Rumah makan unik itu benar-benar mapan di tempat sepi dan jauh dari jantung kota. Jika dijangkau dari kota Wonosobo, berjarak sekitar tiga kilometer. Jalan kecil di depan bangunan resto juga bukan jalur transportasi umum yang ramai. Jalur itu lebih banyak dilalui orang yang pergi atau pulang dari sawah.

Karena jauh dari titik keramaian, di sekililing griya dahar itu hanya ada hamparan sawah. Jika Anda memilih duduk di teras paling pinggir dari resto dan tengah beruntung tak ditemani kabut atau mendung, lamat-lamat Anda akan melihat pemandangan menakjubkan di kejauhan. Itulah Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Kesejukan adalah hal lain yang bisa Anda peroleh di tempat makan itu, selain tentu kepuasan kuliner. Karena tak jauh dari tempat itu ada bukit kecil yang ditumbuhi beberapa pohon mahoni yang rimbun. Di bawah bukit ada sumber mata air yang jadi hulu Perusahaan Air Minum (PDAM) Wonosobo. Orang kerap menamai lokasi itu dengan istilah Tuk Mudal.

Jika ingin menyegarkan pikiran sekaligus memuaskan hasrat kuliner, segeralah datang ke resto itu. Di sana pemandangan penuh seluruh persawahan beserta air yang terus mengalir serta pemandangan dua gunung yang melatarbelakangi bisa Anda “santap” lekat-lekat. Angin semilir yang masuk ke ruang terbuka menambah suasana makin segar. Angin bebas masuk karena tempat makan Soto Bening Poro Rojo ditata model pendapa terbuka tanpa pagar.

“Pendapa depan saya buat tempat makan pengunjung dan rumah belakang sebagai tempat tinggal serta dapur. Jadi bangunan ini saya manfaatkan sebagai tempat tinggal sekaligus rumah makan,” tutur Warsigit H Supriyanto, pemilik Soto Bening Poro Rojo.

Soal nama Poro Rojo, dia menyebut karena yang datang ke warungnya para raja yang berduit banyak. Jadi dia harus melayani sebaik mungkin pembeli yang datang layaknya melayani raja. “Setiap yang datang dan makan di sini saya layani seperti raja,” ucap wanita kelahiran Wonosobo, 23 Juli 1977, itu sembari terkekeh.

Garang Asem
Untuk menu, rumah makan antik itu punya menu spesial, yaitu soto bening dan garang asem. Dua makanan itu diolah dan disajikan sang pemilik, mengingat di Wonosobo belum banyak wisata kuliner menyediakan sajian khas asli Kudus dan Solo itu. Sebagian besar soto yang dijual di Wonosobo adalah soto berkuah santan. Soto bening buatannya tanpa menggunakan bumbu santan kelapa. “Maka soto ini saya namakan soto bening,” ujar Bu Sigit.

Meski tak menggunakan kuah santan kelapa, soto bening bikinannya tak kalah enak dan nikmat. Terbuktin, setiap hari pondok makan itu selalu dibanjiri puluhan pengunjung dari pusat kota Wonosobo.

Sementara itu, garang asem yang dia racik agak berbeda dari garang asem biasanya. Di luar kota Wonosobo, garang asem biasanya dibuat dari daging ayam yang dicacah. Namun di sini daging yang ada tidak dicacah kecil-kecil. “Daging garang asem di sini hanya paha ayam dan tidak kami cacah,” tutur wanita bertubuh jangkung itu.

Pembuatan garang asem itulah yang membedakan dari garang asem di daerah lain. Namun soal rasa tak kalah enak dan nikmat. Karena dibuat dari paha ayam, dagingnya justru lebih tebal dan banyak. Cabe yang jadi bumbu utama menu garang asem juga tidak diuleg atau diiris-iris. Cabe dibiarkan utuh. Cara itu dilakukan agar penikmat menu garang asem yang tak suka pedas bisa tetap menikmati kuliner, tanpa tersiksa. “Bagi penggemar garang asem pedas, tinggal mencampur cabe itu dengan daging ayam,” tandas dia.

Garang asem yang dia masak merupakan perpaduan dari cabe, daging ayam, tomat, bawang putih, bawang merah, gula, dan garam. Bahan mentah yang dicampur itu diberi air dan dibungkus dalam daun pisang yang dilapisi plastik dan dikukus antara tiga dan empat jam.

Tidak seperti wisata kuliner lain, Bu Sigit membuka pondok makannya lebih gasik. Rumah makan itu buka mulai pukul 06:00 dan baru tutup sekitar pukul 20:00. Pengunjung yang tidak kebagian tempat utama bisa menyantap menu di teras rumah sambil bersantai.

Menu soto bening dan garang asem biasanya ditemani tempe kemul dan tahu kemul hangat. Sambal uleg dan kecap manis bisa pula jadi bumbu selingan dua olahan spesial itu. “Satu porsi soto bening hanya Rp 3.500 dan garang asem Rp 7.000,” katanya.

Salah satu penyuka menu garang asem di rumah makan itu, H Agus Purnomo SH SSos MSi, menuturkan olahan itu merupakan menu favoritnya. Karena itu sepekan sekali Kepala Dinas Sosial Kabupaten Wonosobo itu selalu menyempatkan diri datang ke Poro Rojo. “Garang asem di sini sangat enak,” kata dia.

Penulis :
Editor   :